ABSTRAKSI :
Masa remaja adalah fase perkembangan yang dinamis dalam kehidupan seorang individu. Masa ini merupakan periode trasnsisi dari masa anak-anak ke masa dewasa yang ditandai dengan percepatan perkembangan fisik, mental, emosional, dan sosial yang berlangsung pada dekade kedua masa kehidupan (Pardede, 2008). Pada masa tersebut remaja ingin mencari indentitas dirinya dan lepas dari ketergantungan dengan orang tuanya, menuju pribadi yang mandiri (Gunarsa, 2006). Keluarga merupakan hubungan yang memiliki darah melalui pernikahan dengan adanya fungsi-fungsi instrumental mendasar dan fungsi-fungsi keluarga bagi para anggotanya yang berada dalam suatu hubungan dari segi keberadaan anggota keluarga, dengan itu keluarga dapat di bedakan menjadi dua yaitu: keluarga inti (nuclear family) dan keluarga besar (extend family) keluarga inti adalah keluarga yang di dalamnya terdapat suami atau ayah, istri atau ibu dan anak struktur yang demikian menjadi keluarga sebagai orientasi bagi anak yaitu keluarga tempat ia di lahirkan. Sedangkan dalam keluarga yang lebih luas anggotanya atau keluarga besar, bentu-bentuk relasi yang terjadi akan lebih banyak dimana terdapat kakek, nenek, cucu, mertua, menantu, saudara ipar, paman, bibi, dan keponakan (Lestari, 2014). Diantara pilar kebahagiaan keluarga adalah mereka yang tinggal di dalam kehidupan lingkungan sosial yang sehat. Ada tiga poin yang saling mempengaruhi yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. Secara teori keluarga yang baik akan menjadi pilar lahirnya masyarakat yang baik, karena keluarga adalah unit terkecil masyarakat (Mubarock 2016). Setelah pasangan individu antara laki-laki dan wanita memasuki jenjang pernikahan bukan berarti mereka akan dapat langsung mewujudkan kebahagiaan seperti yang diimpikan sebelum menikah. Mereka akan menghadapi berbagai masalah yang timbul selama mereka menikah. Masalah muncul karena kedua individu yang menikah memiliki latar belakang yang berbeda seperti nilai-nilai, sifat-sifat, karakter atau kepribadian, agama, budaya, sukubangsa, kelebihan dan kelemahan. Semua aspek tersebut akan mempengaruhi dalam berpikir, bersikap maupun bertindak. Ketidakmampuan dalam mengelola perbedaan tersebut akan menimbulkan konflik, pertengkaran atau percekcokan bahkan dapat berakhir dengan perceraian (Dariyo, 2003). Perceraian dari tahun ke tahun menunjukan peningkatan. Hal ini menjadikan tantangan besar karena dampak perceraian salah satunya akan memunculkan anak broken home. Broken home adalah kondisi hilangnya perhatian keluarga atau kurangnya kasih sayang dari orang tua yang disebabkan oleh beberapa hal salah satunya adalah perceraian. Anak broken home yang menjadi korban perceraian memiliki cerita bergam mengenai nasib yang dialami keluarga mereka. Nawa yang berusia 22 tahun seorang warga Jebres, Solo, salah satu anak broken home mengisahkan bagai mana awal mula keretakan keluarga mereka. Nawa menjelaskan orang tua ayahnya tak merestui hubungan asmara kedua orang tuanya, yang menyebabkan ibunya tidak betah karena disia siakan oleh mertua. Nawa menduga kondisi tersebut menjadi awal mula pertengkaran yang mengakibatkan orangtuanya bercerai (Yuliawati, 2020) Perceraian sering diakhiri dengan kepergian ayah untuk hidup berpisah dengan anak dan istrinya. Ketidakhadiran figur seorang ayah dan kunjungan yang tidak beratur setelah perceraian akan mempengaruhi anak dan ibu. Istri yang ditinggalkan oleh suaminya harus berperan sebagai ibu sekaligus berperan ayah bagi anaknya, tanggung jawab ibu bertambah ia harus mencari nafkah sendiri mengambil keputusan-keputusan penting sendiri adalah sebagian dari beberapa tugas-tugas seorang ayah yang harus dipikulnya. Tugas-tugas tersebut akan menyita waktu dan perhatian yang biasanya digunakan untuk melakukan tugas-tugas sebagai ibu dan anak-anaknya. Permasalahan anak yang ditinggalkan oleh sosok seorang ayah karena perceraian dengan ketidakhadiran ayah akan mengganggu seorang anak karena suasana penuh pertengkaran selain itu perceraian akan membuat suasana keluarga menjadi dingin. Peristiwa perceraian dalam keluarga senantiasa membawa dampak mendalam. Kasus ini menimbulkan stress, juga menimbulkan beban fisik dan mental. Keadaan ini dialami oleh semua anggota keluarga, ayah, ibu, dan anak (Dagun, 2004). Setelah perpisahan orang tua telah resmi bercerai, bukan berarti persoalan pasangan akan berhenti. Salah satunya adalah mengenai hak asuh anak Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 105 ayat (a), dinyatakan bahwa “pemeliharaan anak yang belum berumur 12 tahun, atau yang disebut dengan mumayyiz menjadi hak ibunya” ini menunjukan bahwa jika perceraian orang tua terjadi ketika usia anak masih di bawah 12 tahun, hak asuh anak akan langsung dimiliki oleh sang ibu. Adapun bunyi pasal 105 ayat (b) yaitu “Pemeliharaan anak yang sudah cukup umur atau mumayyiz akan di serahan kepada sang anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya. Batas usia dewasa yang dimaksud adalah 21 tahun, sesuai dengan aturan yang tertulis pada pasal 98 (Mappiase, 2015). Arthasari (2010) menambahkan, remaja yang orang tuanya bercerai dominan memiliki emosi marah, kecewa, tertekan, malu, tidak percaya diri, dan sakit hati selama periode waktu tertentu, yang akan mengekspresikannya dengan cara menunjukan sikap bermusuhan kepada pihak yang menimbulkannya. Memaafkan (forgiveness) merupakan cara yang baik untuk mengatasi berbagai dampak buruk dari perceraian orang tuanya. Remaja harus berusaha tidak menyalahkan keputusan orang tua untuk bercerai yang membuat merka tidak dapat merasakan lagi kebersamaan dalam keluarga yang utuh. Remaja sebagai anak harus berusaha aktif membangun kembali hubungan antara dirinya dengan kedua orang tuanya, dengan terlebih dahulu melupakan kesalahan yang dilakukan orang tua atas keputusan mereka bercerai (Arthasari, 2010).