REPOSITORY

Layanan penulisan ilmiah yang disediakan oleh Perpustakaan Universitas Gunadarma

HAPPINESS PADA WANITA DEWASA MADYA YANG BELUM MENIKAH

ABSTRAKSI :
Dalam menjalani kehidupan, seorang manusia memiliki kodrat-kodrat yang harus dijalaninya. Kodrat tersebut antara lain lahir, menikah, dan meninggal dunia. Pada era globalisasi seperti sekarang ini, kebutuhan manusia yang semakin banyak dan beragam, manusia harus bekerja agar mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pada saat ini tidak hanya pria yang bekerja, wanita pun banyak yang bekerja. Dahulu pekerjaan wanita terbatas pada pekerjaan yang dilakukan di rumah, mendidik anak, dan ujung-ujungnya masuk dapur, sedangkan pria bekerja diluar rumah. Tetapi dengan perkembangan zaman sekarang, wanita sudah mampu untuk sejajar dengan pria dalam segala hal, bahkan ada wanita yang tingkat kariernya lebih tinggi dibandingkan pria, hingga tercetuslah istilah emansipasi wanita. Dalam kehidupan sehari-hari, emansipasi wanita dapat dilihat pada wanita dewasa yang belum menikah. Wanita dewasa yang belum menikah, akan lebih berkonsentrasi pada pekerjaan. Di beberapa negara dalam generasi terakhir, telah terjadi peningkatan yang signifikan dalam pendidikan tersier mengakses perempuan dibanding laki-laki. Di Amerika Serikat pada tahun 2005-2006, perempuan mendapatkan lebih Associate's, Bachelor's, dan Master derajat daripada laki-laki (Ambox dunia content, 2004). Sehingga alasan dari wanita ini adalah ia melihat masih ada kesempatan untuk meningkatkan jenjang profesionalisnya (Hurlock, 1980). Setelah memperhitungkan faktor-faktor kunci yang mempengaruhi penghasilan, model kita tidak bisa menjelaskan semua perbedaan penghasilan antara laki-laki dan perempuan. Pendapatan kesenjangan di negara-negara lain berkisar dari 53% di Botswana untuk -40% di Bahrain (Ambox dunia content, 2009). Oleh karena itu, alasan seseorang untuk menunda pernikahan antara lain disebabkan mereka ingin melanjutkan karier yang membutuhkan banyak waktu serta jam-jam kerja yang tidak teratur, dimana hal ini akan lebih sulit diperoleh jika sudah menikah. Di Amerika Serikat, di antara perempuan yang tidak pernah menikah atau memiliki anak, perempuan membuat lebih dari laki-laki. Selain itu, perempuan yang bekerja paruh waktu rata-rata menghasilkan penghasilan lebih banyak (Ambox dunia content, 2009). Ditambah pula besarnya kesempatan untuk meningkatkan jenjang karier serta adanya kebebasan untuk mengubah dan melakukan percobaan dalam pekerjaan dan gaya hidup. Adanya fenomena ini membuat para wanita bekerja tetap mempertahankan kelajangannya karena mereka berpikir pernikahan hanya akan menjadi batu sandungan dalam berkarier (Triany, 1997). Menurut Matlin (1987), tidak hanya karier yang menyebabkan wanita memutuskan untuk hidup melajang, akan tetapi ada alasan-alasan lain seperti adanya pengalaman putus cinta, atau tidak tertarik untuk melakukan pernikahan. Selain itu wanita memutuskan untuk melajang karena mereka merasa ditakdirkan untuk hidup melajang, adanya faktor genetik, yang disebabkan oleh orang lain (putus cinta, kegagalan yang dialami orang tua, kematian, dan lain-lain), dan adanya pilihan untuk tetap melajang karena tidak mau terikat dengan orang lain. Alasan lain yang sering terdengar dari wanita dewasa yang masih hidup sendiri adalah sulitnya untuk mencari pasangan yang tepat (Stein, 1976). Mereka sulit untuk mendapatkan pasangan yang cocok dan sesuai dengan keinginannya. Para wanita umumnya cenderung memilih pria yang lebih tinggi tingkat intelektualnya atau paling tidak setaraf dengan dirinya. Apalagi pada saat sekarang ini wanita memiliki karier dan pendidikan yang tinggi sehingga akan menjadi kecil kemungkinannya untuk mendapatkan pasangan yang sesuai dengan keinginannya. Di Indonesia sendiri, dari tahun ke tahun semakin banyak wanita yang baru menikah di usia dewasa (dua puluh tahun ke atas). Menurut data survei dari Biro Pusat Statistik (BPS), jumlah wanita yang menikah di usia dewasa mencapai 38,9% di tahun 1994-1995. Padahal di tahun-tahun sebelumnya banyak wanita Indonesia yang menikah di usia belia (di bawah 18 tahun). Hal ini menandakan bahwa pernikahan bukanlah merupakan hal yang utama dan pilihan hidup yang terbaik lagi bagi seorang wanita. Menikah adalah pilihan, bukanlah keharusan. (Wardhanie, 1997). Namun demikian, menurut Desmita (2005) wanita dewasa madya ditekankan untuk menikah, salah satunya karena faktor usia, jika pada usia sekitar lima puluh tahun dirinya belum merasakan menikah dan melahirkan, akan ada perasaan yang kurang bagi dirinya karena tidak bisa menjadi seorang wanita seutuhnya. Wanita lajang memilih untuk meniti karir selain tuntutan ekonomi juga dikarenakan mereka pesimis untuk menikah. Pada usia dua puluh tahun, tujuan dari sebagian besar wanita yang belum menikah adalah perkawinan. Apabila hidup ke arah nilai dan tujuan serta gaya hidup baru yang berorientasi pada pekerjaan, kesuksesan dalam karir dan kesenangan pribadi (Hurlock, 1996). Data BPS menunjukkan bahwa persentase wanita lajang bekerja usia dewasa muda pada tahun 1997 mencapai 48,76% sedangkan tahun 1999 mencapai 52,85% (Luliana, 2006). Adapun hasil wawancara dengan beberapa lajang dalam Pikiran Rakyat, minggu 19 Februari 2006, menunjukkan bahwa beberapa wanita karir yang masih lajang awalnya menginginkan sebuah keluarga yang bahagia dengan pasangannya, hanya karena mereka ditinggal pasangannya selingkuh atau karena pasangannya meninggal, sehingga membuat mereka malas mencari pasangan. Hidup melajang telah memberikan kesempatan untuk beramal lebih banyak, karena tidak terikat dengan tugas-tugas rumah tangga, sehingga lebih banyak mempunyai waktu untuk berorganisasi. Kartono (1989), menyebutkan bahwa dengan menikah maka seseorang akan mendapatkan pengakuan sosial, jaminan materil maupun sosial. Keadaan tidak menikah pada wanita dewasa madya yang menyimpang dari ketentuan masyarakat dipandang sebagai suatu kegagalan dalam menjalani proses perkembangan. Kenyataan bahwa seorang wanita yang memilih untuk hidup sendiri, memang belum dapat diterima oleh masyarakat. Fenomena wanita tidak menikah yang timbul tampaknya disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain karena hak dan kesempatan yang berkembang semakin luas bagi kaum wanita. Hal ini dapat dilihat dai peluang dan kesempatan yang diperoleh wanita dalam bidang pendidikan dan pekerjaan, tentunya kehidupan para wanita lajang tidak terlepas dari berbagai pengalaman yang menyenangkan maupun menyedihkan (Virgyyanti, 1994). Dengan bekerja, wanita memiliki kesempatan yang luas untuk mengembangkan karir, dengan karir yang semakin berkembang, maka wanita dapat semakin mandiri secara finansial. Tingkat sosial ekonomi mereka menjadi lebih baik (berada pada golongan sosial ekonomi menengah keatas) dan tampaknya dengan kemandirian secara finansial, maka wanita pada golongan ini semakin melupakan tuntutan masyarakat untuk menikah karena lebih mengutamakan karier dan tidak ingin terikat oleh perkawinan (Virgyyanti, 1994). Adanya fenomena ini membuat para wanita bekerja tetap mempertahankan kelajangannya karena mereka berfikir pernikahan hanya akan menjadi batu sandungan dalam berkarier (femina, 1997). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kini hidup melajang (single) menjadi suatu pilihan gaya hidup bagi para wanita. Terutama dikota-kota besar, seperti Jakarta Pada tahun – tahun belakangan, para ilmuwan sosial tengah mempelajari “kebahagiaan” dengan semangat yang lebih menggebu – gebu. Pertama – tama yang mereka lakukan adalah menamakannya dengan istilah yang berbeda. Mereka menyebut kebahagiaan sebagai “ kesejahteraan subjektif“ (subjective well being). Hasil – hasil penelitian memperlihatkan adanya suatu kondisi semacam kebahagiaan personal.Umumnya dipercaya bahwa uang, kesuksesan, usia, jenis kelamin, kecerdasan, kehidupan seksual, kesehatan, kebersamaan, agama, cinta dan perkawinan, kepuasaan kerja dan kebahagiaan sekarang berperan menciptakan kebahagiaan jangka panjang ( Khalil, 2006 ). Upaya meraih kebahagiaan adalah proses terus menerus untuk mengumpulkan semua kebaikan : kekayaan, kehormatan, kepandaian, kecantikan, persahabatan, dan sebagainya diperlukan untuk menyempurnakan fitrah kemanusiaan dan memperkaya kehidupan, untuk itu “resep pertama” meraih kebahagiaan adalah menggunakan akal, satu – satunya kemampuan yang membedakan manusia dengan binatang. Kedua, akal dipergunakan untuk memilih. Setiap hari kita melakukan pilihan. Kita memilih yang benar apabila kita memilih yang lebih baik diatas yang kurang baik. Dalam melakukan pilihan itu, kita bukan saja melihat data yang ada tetapi kemungkinan dimasa depan. Keinginan untuk bahagia adalah satu dari sumber perbuatan manusia yang paling penting. Karena itu, setiap teori etika harus lah membahas kebahagiaan. Menurut Epicurus (dalam Khalil, 2006) kebahagiaan bukan hanya diperoleh dari kehidupan yang menyenangkan tetapi juga dari penderitaan.
NOMOR INDUK :
FPSI/PA/PI/00003/2012
PEMBIMBING :
Aski Marissa M.psi, psi
TANGGAL SIDANG :
21/10/2010
TANGGAL PENYERAHAN :
16/05/2011
JENIS PENULISAN :
PENULISAN ILMIAH JENJANG D3
BERKAS PENULISAN
COVER PENULISAN
LAMPIRAN DAN DOKUMEN LAIN
LEMBAR PENGESAHAN
DAFTAR ISI
BAB I
BAB II
BAB III
DAFTAR PUSTAKA