ABSTRAKSI :
Pensiun seringkali dianggap sebagai kenyataan yang tidak menyenangkan sehingga menjelang masanya tiba, sebagian orang sudah merasa cemas karena tidak tahu kehidupan macam apa yang akan dihadapi kelak. Memasuki masa pensiun memang tidak mudah. Terlebih lagi jika sebelumnya seseorang memiliki kedudukan atau jabatan, maka saat pensiun tiba, jabatan itu akan lenyap, oleh karena individu akan kehilangan identitas dan label. Hal ini akan sangat rentan bagi individu untuk mengalami goncangan ketika pensiun yang biasa dikenal sebagai post power syndrome. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gejala-gejala Post Power Syndrome, serta mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan seseorang mengalami Post Power Syndrome. Penelitian kualitatif diarahkan untuk menggunakan wawancara mendalam (in-depth interview), dalam penelitian ini digunakan wawancara mendalam (in-depth interview) untuk menggali mengenai post power syndrome pada pegawai negeri sipil yang mengalami masa pensiun. Wawancara mendalam ini lebih seperti percakapan sehari-hari dibandingkan dengan wawancara terstruktur. Teknik ini dapat berubah tergantung pada tingkatan wawancara yang telah terstruktur sebelumnya. Penelitian ini menggunakan Observasi non-partisipan. Observasi non-partisipan adalah peneliti berada diluar subjek yang diamati dan tidak ikut dalam kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan. Dengan demikian peneliti akan lebih leluasa mengamati kemunculan tingkah laku yang terjadi. Dalam penelitian ini, subjek berjumlah dua orang, dengan karakteristik subjek Pegawai negeri sipil yang telah mengalami wajib pensiun yang berusia 56 tahun ke atas, minimal telah menjalani pensiun selama enam bulan. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa kedua subjek mengalami gejala-gejala post power syndrome berupa gejala fisik pada kedua subjek mengalami perubahan pada penglihatan, pendengaran serta sensorik motorik yang menurun setelah pensiun. Gejala emosi, pada kedua subjek mengalami perubahan emosi setelah pensiun hal tersebut dapat dilihat pada subjek 1, subjek merasa stres dan sedih karena sudah pensiun sehingga tidak dapat berbuat apa-apa lagi, selain itu terjadi subjek merasa ruang geraknya terbatas, karena ketika pensiun subjek merasa bingung hanya berdiam diri di rumah. Selain itu terdapat pula perbedaan mengenai gejala perilaku dalam mengisi waktu senggang pada kedua subjek, melakukan hal yang berbeda. Pada subjek 2, subjek terlihat lebih aktif dalam mengisi waktu senggangnya apabila dibandingkan subjek 1 yang mengisi waktu senggangnya tidak diisi dengan kegitan yang dapat menyibukkan dirinya. Faktor-faktor penyebab post power syndrome pada kedua subjek, yaitu kehilangan jabatan yang berkaitan dengan kehilangan harga diri membuat subjek mengalami post power syndrome. Selain itu, pada faktor kehilangan hubungan eksklusif kedua subjek mengalami hal tersebut hal ini dapat dilihat setelah pensiun kpada subjek satu pada saat subjek bekerja subjek merasa bangga saat tergabung dengan kelompok kerjanya akan tetapi setelah pensiun, subjek tidak pernah lagi berhubungan dengan kelompok sprofesinya. Sedangkan pada subjek 2, subjek cenderung merasa kehilangan lingkungan intelektualitasnya, selain itu subjek merasa tidak dapat lagi mengembangkan potensi yang ada pada dirinya setelah pensiun. Faktor ketiga, kehilangan kewibawaan dan perasaan berarti pada kedua subjek mengatakan pada usianya tidak mampu melakukan suatu pekerjaan, subjek ingin tetap dapat bekerja seperti waktu sebelum pensiun akan tetapi kondisi subjek sudah tidak mendukung. Kehilangan kontak sosial pada rekan kerja pada subjek 2, kehilangan kontak sosial bukan merupakan faktor penyebab post power syndrome, karena pada subjek 2 hubungan komunikasi subjek masih berjalan melalui telepon maupun SMS. Faktor yang terahkir kehilangan sebagian sumber penghasilan yang terkait dengan perubahan pola hidup yang dihadapai sesudah pensiun.